News Update :
Home » » Belajar Bahasa Seperti Anak-Anak

Belajar Bahasa Seperti Anak-Anak

Written By ELLY SUMANTRI on Rabu, 28 September 2011 | 19.43



Oleh: Ardiansyah, S.Pd (Pendiri Magic English Method I-Can Family)

“Belajar terbang, carilah guru seekor Elang, ia akan mengajarimu dengan baik bagaimana terbang tinggi. Belajar berlari, carilah guru seekor Cheetah, kemampuannya di bidang ini sudah begitu tersohor. Namun jika dirimu ingin belajar bagaimana caranya belajar, carilah anak kecil bagaimana mereka  belajar. Sebaik-baik guru dan sebaik-baik pembelajar adalah mereka.”

Adalah American University Language Center di Bangkok, pada tahun 1984, memperkenalkan pendekatan baru dalam dunia pengajaran Bahasa Thai. Metode tersebut disebut sebagai “The Listening Approach” yang konon sekarang lebih dikenal sebagai “Automatic Language Growth (ALG).” Metode tersebut kurang lebih menyebutkan bahwa segala usaha untuk menuturkan sebuah bahasa (atau bahkan berpikir bagaimana mengucapkannya), sebelum menutur benar-benar terjadi secara otomatis, justru akan menyebabkan ketidaksempurnaan dalam pemerolehan bahasa tersebut sehingga membatasi hasil akhirnya. Dengan kata lain, metode tersebut menggunakan sebuah “silent period” yang sangat lama. Selama silent period (masa diam) tersebut, siswa hanya berfokus pada mendengarkan (listening). Setelah enam hingga dua belas bulan dalam proses listening yang intensif, siswa mulai dapat berbicara secara spontan dan natural, tanpa rintangan yang berarti, dan tanpa berpikir! Amazing, bukan?

Inilah Rahasianya: Children’s Secret 

Kita semua pasti tahu, entah disadari atau tidak, mungkin juga kita pernah mengalaminya, bahwa ketika seorang anak pindah ke suatu kota baru, atau tempat yang baru, atau bahkan negara asing yang baru, secara bertahap mereka akan berbicara dalam bahasa setempat dengan sangat fasihnya, tapi kita yang sudah dewasa jamaknya sangat sulit untuk mencerap bahasa baru tersebut, alih-alih mampu menuturkan selayaknya penduduk setempat. Sederhananya, anak-anak memiliki bakat yang sangat spesial, yang sayangnya, mulai menghilang menjelang mereka bertumbuh. Alih-alih mencerap secara alamiah, banyak guru-guru menyarankan bahwa seorang dewasa yang ingin menguasai sebuah bahasa baru mesti belajar dan diajar selayaknya di kelas-kelas formal pembelajaran bahasa. Namun, apakah kita cocok dengan pola pengajaran bahasa masa kini? Lagipula, ternyata orang-orang dewasa di Afrika Tengah justru mencerap sebuah bahasa baru lebih baik ketika mereka pindah dari sebuah komunitas ke komunitas lain yang beda bahasanya daripada siswa-siswa modern lakukan.

Mungkinkah ini disebabkan oleh kesalahan guru-guru sebelumnya? Atau mungkin memang sebenarnya orang-orang dewasa mampu melakukan apa yang anak-anak lakukan. Ya, mungkin ini hanya perilaku orang dewasa saja (bukan kehilangan bakat spesialnya) yang menghalangi mereka untuk menguasai sebuah bahasa baru. Kekeliruan dalam pemahaman kita adalah bahwa kita berpikir kita tidak bisa melakukan apa-apa yang dilakukan oleh anak-anak. Pertanyaannya, apa yang akan terjadi jika seorang dewasa hanya mendengarkan (listening) selama setahun tanpa menutur (speaking) sama sekali. Jawabannya, baik orang dewasa maupun anak-anak mampu melakukannya dengan baik, namun hanya orang dewasa yang melakukannya dengan salah. Nah loh?  

Sekarang coba bayangkan seorang anak empat tahunan dan seorang dewasa mencerap sebuah bahasa dari seseorang dalam bahasa Asing. Kebanyakan anak-anak pasti akan mendengarkan saja, namun lihat orang dewasa, mereka kebanyakan mencoba untuk menanggapinya. Ketahuilah bahwa “usaha untuk diam menyimak dan mendengarkan” adalah rahasia terbesar anak-anak dalam belajar bahasa.

Menjadi masuk akal ketika kita selalu mendengarkan penuturan sebuah bahasa yang benar, akan membuat rangka bangun bahasa yang kelak kita rangkai pun menjadi benar. Namun kita lebih sering menuturkan, yang sudah pasti salah, dan menyebabkan, rangka bangun bahasa kita juga salah. Itulah mengapa, sangat sedikit para pembelajar bahasa yang mampu menuturkan sebuah bahasa persis mirip seperti penutur asli. Andai saja kita melakukan metode anak-anak ini (tidak bicara, hanya menyimak selama kurang lebih 6 s.d. 12 bulan), mungkin hasilnya akan beda. Hmm, boleh dicoba tuh^_^

Di tahun 1984, AUA Language Center di Bangkok ini melakukannya di kelas-kelas pembelajaran Bahasa Thai. Siswa hanya mendengarkan selama setahun tanpa speaking sama sekali. Ternyata, didapati hasil yang nyaris sama antara orang dewasa dan anak-anak. Jika orang-orang dewasa memahami sebuah percakapan natural, pada situasi yang sebenarnya, tanpa mencoba untuk mengatakan apapun, selama kurang lebih setahun, lihat saja magicnya (promosi magicenglish nih^_^). Mereka akan mampu menuturkan bahasa tersebut dengan aksesn (pronunciation) serta tata bahasa yang persis mirip dan sempurna secara otomatis. Barulah kemudian kita tahu, bahwa perbedaan anak-anak dan orang dewasa dalam belajar bahasa adalah bukan disebabkan oleh orang dewasa kehilangan kemampuan untuk melakukannya-namun  justru anak-anak lah yang belum memiliki kemampuan untuk mengacaukannya. Makanya hancur rangka bangun bahasa kita karena memaksa untuk menuturkan (forced speaking).

Bukankah segala sesuatu yang dipaksakan, bagaimanapun, tidak akan bagus hasilnya?? Ya, tentu saja baik untuk mencoba speaking. Namun forced speaking (menutur yang dipaksakan) justru akan melahirkan banyak permasalahan. Bukan hanya masalah bahasa itu sendiri, tapi juga masalah kepercayaan diri. Lihatlah, ketika kita mencoba memaksakan untuk menutur (speaking), secara sadar kita berpikir terhadap sebuah kalimat, menerjemahkan, merangkai, mengaitkan dengan aturan-aturan grammar, kemudian mensubstitusinya, dan hal-hal lain sejenisnya. Alih-alih berpikir, penutur asli sebuah bahasa (native speaker) menuturkannya secara alamiah, otomatis, dan tidak terpaksa. Seperti saya ketika hendak bicara Bahasa Indonesia.

Menuturkan secara otomatis (natural speaking) tidak akan menyebabkan hancurnya pola bahasa kita, bahkan ketika mungkin kata tersebut salah (baca: keseleo lidah). “Hancurnya speaking” kita bukan berasal dari salah pengucapan,  justru itu berasal dari cara kita berpikir tentang bahasa tersebut. Bahasa itu ya ngobrol, bukan berpikir. Tapi belajar bahasa, menyimak dulu. Yah, kurang lebih itulah mengapa anak-anak ternyata lebih mudah belajar sebuah bahasa, bahkan persis mirip layaknya penutur asli, mereka belajar menutur (speaking) melalui mendengarkan (listening). Nah, kita? Kita belajar menutur dengan menutur (learn to speak by speaking).

Orang dewasa itu banyak ngomong:-p Rumusnya sederhana saja: simak, jangan bicara, dan bersabarlah (orang sabar disayang Tuhan). Sekarang, ini bukan lagi rahasia anak-anak. Ini sudah menjadi rahasia kita semua. Anak-anak mampu lebih setia melakukannya, kita pun yang dewasa mampu melakukannya dengan lebih cepat. Come on^_^

Kebanyakan guru bahasa secara konstan mengajarkan ke siswa untuk mencoba speaking sesering dan sebisa mungkin, dan berpikir baik-baik dan penuh kehati-hatian sebelum mengatakan apapun, maka mereka akan speaking dengan benar. Justru hal semacam inilah (speaking and thinking) yang sebenarnya menghalangi kita, orang-orang dewasa, untuk belajar sebuah bahasa baru dengan baik dan benar.

Dr. J. Marvin Brown, penemu metode ALG (Automatic Language Growth) ini pun berujar bahwa rahasia anak-anak dalam belajar bahasa lebih spesifiknya adalah: telinga terbuka, mulut tertutup, dan no tests. Tak ada ujian. Mereka mendengar, tertawa, dan saling memandang saja. Mereka sudah sangat mirip dengan native speaker hanya dalam jangka waktu satu tahun saja. Yah, berkebalikan dengan kelas-kelas bahasa kita disini: telinga tertutup (siswa melihat, bukan menyimak), mulut terbuka, dan banyak test. Hasilnya? Hanya sedikit yang mampu mendekati selayaknyanative speaker. Kebanyakan stress? Hehehehe... ^_^

Setidaknya ada dua hal yang kita butuhkan andai mau belajar sebuah bahasa baru, khususnya Bahasa Inggris. Pertama, dibutuhkan sebuah minat yang tinggi terhadap bahasa tersebut. Tentang kenapa kita menguasai bahasa tersebut. Tentu saja minat yang bersumber pada hal yang menyenangkan, membuat bahagia, dan enjoy. Hal ini tentu saja penting untuk membuat kita lupa bahwa kita sedang belajar sebuah bahasa baru. Kita terbawa keasyikan dan kesenangan suasana belajar. Kedua, pemahaman siswa mesti cukup tinggi untuk belajar mulai dari hari pertama. Percuma belajar banyak, tapi mengerti sedikit. Atau bahkan tidak mengerti sama sekali. Minat dan pemahaman ini adalah dua hal yang saling berkesinambungan mendukung suksesnya kita menguasai sebuah bahasa baru.

Ahh, saya hanya berbagi saja. Metode ALG ini pun, jika dirasa tak sepenuhnya cocok boleh menggunakan metode pemerolehan bahasa yang lain. Banyak sekali metode-metode pembelajaran bahasa, tinggal kitanya saja, mau atau tidak mempelajarinya kemudian menginternalisasikannya menjadi bahasa baru bagi kita. Iya, psikologi kita dahulu, baru kemudian metode. Itulah kenapa Anthony Robbins pernah berujar, “method is just 20% supports your succeed, your physology is 80%.” Karena bahasa adalah alat komunikasi, semakin banyak bahasa yang kita kuasai, semakin luas cakrawala pemikiran dan pergaulan kita, semakin banyak kebaikan dan manfaat yang dapat kita sebar. Konon, Ir. Soekarno masih memegang rekor di PBB, bahwa ketika  beliau berpidato tidak memerlukan penerjemah dan mampu berbicara ke dalam berbagai bahasa termasuk Francis, Jepang, Belanda, apalagi Bahasa Inggris. Bahasa itu mudah, mempelajarinya lebih mudah lagi, kita saja yang membuatnya menjadi sulit. Now, see... no magic at all when you know the secret.

Hari gini ga bisa Bahasa Inggris? Apa kata dunia??? ^_^



-Rd-
To be shared
Aliran Lain dari MAGIC ENGLISH^_^

0 komentar:

 
Copyright © 2011. Komunitas Generasi Cendekia . All Rights Reserved.
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Design by Creating Website. Inspired from Metamorph RocketTheme